Kebangkitan Budaya Rimpu dan Sambolo di Era Digital
Kota Bima, Spensa.- Menindaklanjuti surat edaran Pj. Walikota Bima Mohammad Rum,S.T, dewan guru dan unsur pimpinan SMP Negeri 1 Kota Bima serentak mengenakan busana bernuansa adat Bima setiaphari Kamis jam kerja. Kaum ibu-ibu mengenakan sarung ‘sanggentu’ dan ‘rimpu’ dari bahan kain tenunan asli Bima. Ada yang mengenakan tenunan benang Nggoli, galendo, dan misrai serta benang milamin.
Cara mengenakan sarung untuk menutup aurat bagian bawah bagi ibu-ibu disebut ‘sanggentu’ sedangkan bagi laki-laki dikenal dengan nama ‘katente.’ Sedangkan untuk menutup kepala dan diulurkan ke dada seperti memakai talkum atau jilbab bagi wanita Bima dikenal dengan nama ‘rimpu’ sedangkan bagi laki-laki dinamai ‘sambolo’ yaitu ikat kepala dari kain tenunan atau dari kain batik yang mirip dengan ‘tanjak’ bagi masyarakat adat Melayu.
Tata cara mengenakan ‘tanjak’atau ‘sambolo’ dililitkan di kepala, bagian runcingnya menghadap tegak ke atas dengan posisi boleh tegak lurus di depan dan boleh tegak lurus sedikit miring ke bagian samping kanan kepala. Sedangkan senjata tajamnya, masyarakat Bima meletakkannya atau menyelipkannya pada bagian depan perut atau di samping kiri. Mengapa harus di samping kiri, konon menurut asal usulnya tata letak senjata tajam itu harus di bawah rusuk kiri karena senjata tajam berupa besi itu diselipkan di bawah rusuk kiri untuk menggantikan satu batang tulang rusuk kiri yang telah hilang yang telah menjadi bagian dari terciptanya kaum hawa.
Tata cara memakai tanjak dan sambolo Bima sama dengan Sulawesi dan masyarakat Melayu. Yang sangat berbeda adalah ikat kepala masyarakat Adat Jawa. Pada masyarakat Java bagian runcingnya tidak menghadap ke atas, melainkan dilipat menghadap ke bawah. Sedangkan senjata tajamnya diutamakan disimpan dan diselipkan di bagian belakang (dipunggung) dan bukan di samping kiri atau kanan atau depan perut.
Membudayakan kembali busana bernuansa adat Bima dalam beberapa dekade ini, merupakan bukti bahwa para pemimpin daerah Bima sangat peduli untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan produk budaya daerah yang dalam puluhan tahun terakhir sedikit demi sedikit mulai tergusur oleh kemajuan era teknologi digital.
Kekuatan informasi dari teknologi digital telah banyak mempengaruhi nilai, budaya dan peradaban masyarakat Bima, sehingga masyarakat cenderung untuk mengadopsi nilai, budaya dan peradaban luar yang terakses bebas melalui teknologi digital.
Membudayakan kembali busana bernuansa daerah Bima di samping untuk mempertahankan peradaban Bima, juga untuk mengangkat dan meningkatkan daya dukung dalam rangka memajukan ekonomi masyarakat home industry daerah Bima.
Kendatipun jumlah warga Bima sebagai pelaku tenunan sangat sedikit, namun pelaku ekonomi kerajinan tenun ini sangat menentukan kemajuan dan hidup-matinya produk khas Bima.
Sosialisasi dan pelestarian produk budaya serta adat istiadat Bima di era digital ini masih diarahkan melalui kekuatan ASN, sektor pendidikan dan masyarakat umum yang digerakkan melalui unit pemerintah paling bawah seperti ORT dan ORW serta ketua dusun dan ketua lingkungan serta organisasi wanita dan pemuda.